Untuk meyakinkan pemerintah kolonial. Jasad Sarip selanjutnya di bawah ke kadipaten agar disaksikan pejabat pemerintah kolonial. Setelah semua yang hadir saat itu yakin bahwa Sarip sudah meninggal, akhirnya kabar itu tersiar dan ramai menjadi perbincangan masyarakat sekitar kadipaten.
Purwandi, (65) Warga Kwadengan menuturkan, nama Sarip tidak asing bagi warga Kwadengan, Kelurahan Lemah Putro. Ia mendapat cerita tentang Sarip dari turun temurun, dari ayah dan kakeknya.
Dulu, di tahun 1900 an diceritakan kalau Sarip dulu sering ke Pasar Sidoarjo. Lokasinya di kawasan Kelurahan Kauman.
Karena keberaniannya melawan pemerintah kolonial, akhirnya Sarip jadi buruan Belanda. “Warga sini yang hidupnya era kakek saya mesti mengetahui cerita tentang Sarip ini. Bahkan saya dipeseni kalau ke makam Kewadengan tidak bermain didekat tanah gundukan. Karena itu makamnya Sarip. Letaknya di bawah pohon Ulin,” kata Purwandi.
Cerita itu dikuatkan oleh warga Kwadengan lainnya. Namanya Didik, seorang pensiunan guru sejarah yang kini usia 60 tahun lebih, teman se kampung sama Purwandi. Bahkan menurut penuturan Didik. Saat itu ia masih remaja mendapatkan cerita dari ayah dan kakeknya.